Geger – Sebuah video berdurasi kurang dari satu menit mendadak viral dan mengguncang dunia maya. Dalam rekaman yang beredar luas di platform TikTok dan Instagram, tampak seorang guru perempuan berdiri di depan kelas, dengan nada tinggi, menghardik seorang siswa sambil menyebutkan kata-kata kasar yang seharusnya tidak keluar dari mulut seorang pendidik. Yang membuat netizen makin marah: si murid hanya tertunduk diam, tampak menahan tangis di hadapan teman-temannya.
Video tersebut direkam diam-diam oleh salah satu siswa di kelas. Begitu tayang di media sosial, respons publik langsung meledak. Ribuan komentar membanjiri unggahan asli, sebagian besar mengecam tindakan guru tersebut. Hashtag seperti #GuruToksik dan #StopKekerasanVerbalLangsung trending dalam hitungan jam.
Anak Jadi Korban Ego Pengajar
Apa yang terjadi di balik video itu? Menurut sejumlah informasi dari warganet yang mengaku sebagai siswa sekolah tersebut, sang guru kerap mempermalukan murid di depan umum. Dalihnya: mendidik dengan tegas. Namun batas antara tegas dan merendahkan tampaknya telah lama kabur. Dalam video yang viral ini, si guru menyebut sang murid “bodoh” dan “pemalas” hanya karena tidak mampu menjawab pertanyaan matematika dasar.
Lebih parahnya lagi, ini bukan kejadian pertama. Beberapa mantan siswa yang kini sudah lulus turut angkat suara, mengisahkan pengalaman mereka di bawah pengajaran guru yang sama. Rata-rata mengeluhkan tekanan psikologis, ketakutan belajar, dan hilangnya rasa percaya diri. Dalam sistem pendidikan yang seharusnya membangun, tindakan seperti ini adalah racun yang menghancurkan.
Sekolah Cuci Tangan, Netizen Makin Panas
Pihak sekolah akhirnya angkat bicara, tapi sayangnya tidak menenangkan situasi. Dalam konferensi pers singkat, kepala sekolah menyatakan bahwa kasus tersebut “hanya kesalahpahaman” dan meminta masyarakat untuk tidak membesar-besarkan. Bahkan, guru yang bersangkutan hanya diberi peringatan ringan dan tetap diizinkan mengajar seperti biasa.
Reaksi netizen? Langsung meledak. Banyak yang menilai pihak sekolah lebih peduli menjaga citra daripada melindungi psikologis anak didik. Beberapa orang tua bahkan mulai mempertimbangkan untuk memindahkan anaknya dari sekolah tersebut. Ini bukan sekadar soal reputasi, tapi soal kepercayaan yang sudah hancur berkeping-keping.
Pakar Psikologi: Dampaknya Bisa Seumur Hidup
Sejumlah pakar pendidikan dan psikologi anak turut bersuara. Mereka menyebut kekerasan verbal seperti yang terekam dalam video itu bisa berdampak jangka panjang pada kondisi mental anak. Rasa malu, takut, dan trauma bisa terbawa hingga dewasa, bahkan memicu depresi dan kecemasan sosial. Menurut mereka, lingkungan sekolah seharusnya menjadi ruang aman bagi anak-anak, bukan panggung pelecehan.
Bahkan dalam UU Perlindungan Anak, disebutkan bahwa tindakan merendahkan martabat anak secara verbal termasuk kategori kekerasan psikologis. Jadi pertanyaannya: mengapa tidak ada sanksi tegas? Apakah semua akan dibungkam demi menutupi aib situs slot kamboja?
Masyarakat Bergerak, Petisi Online Meledak
Gerakan masyarakat sipil tidak tinggal diam. Dalam waktu kurang dari 24 jam, sebuah petisi online menuntut pemecatan guru tersebut telah ditandatangani oleh lebih dari 250 ribu orang. Komunitas orang tua murid juga mulai menyuarakan keprihatinan secara kolektif, mendesak Kementerian Pendidikan turun tangan.
Banyak netizen juga menyerukan pentingnya reformasi sistem pendidikan yang selama ini terlalu menoleransi tindakan otoriter guru. “Guru bukan dewa,” tulis salah satu akun viral. “Kalau mereka salah, harus ada konsekuensi. Kalau tidak, anak-anak kita yang akan hancur.”
Ironi Dunia Pendidikan Digital
Kasus ini sekali lagi membuktikan bahwa era digital tidak bisa lagi menyembunyikan kebusukan di ruang tertutup. Apa yang dulu hanya jadi bisik-bisik, kini bisa pecah jadi ledakan nasional dalam hitungan detik. Kamera ponsel menjadi saksi kebenaran, dan media sosial menjadi palu keadilan publik.
Namun, keadilan tidak akan datang hanya dengan viral. Yang dibutuhkan adalah keberanian dari pihak berwenang untuk menindak tegas pelaku, memperbaiki sistem, dan mendengarkan suara anak-anak—bukan membungkamnya demi reputasi palsu.