Bikers Beli Intercom – Dalam beberapa tahun terakhir, pemandangan helm-helm motoris yang dihiasi perangkat intercom jadi makin lazim terlihat, terutama di kalangan bikers komunitas dan mereka yang hobi touring. Perangkat kecil yang biasanya menempel di sisi helm itu tampak keren, futuristik, dan tentu saja—mencuri perhatian. Tapi, pertanyaannya: apakah intercom ini memang alat komunikasi yang di butuhkan saat berkendara, atau sekadar aksesoris mahal buat pamer gaya?
Intercom, dalam fungsinya yang paling murni, adalah alat komunikasi dua arah atau lebih, yang memudahkan para pengendara untuk ngobrol saat riding bersama. Tak perlu lagi menepi hanya untuk bertukar arah atau merespons panggilan dari rekan di belakang. Suara langsung terdengar di dalam helm. Tapi fungsionalitas ini mulai di tabrak dengan tren sosial—di mana yang lebih utama bukan lagi “butuh” tapi “biar kelihatan situs slot resmi”.
Lebih Banyak Dipakai atau Cuma Dipajang?
Coba perhatikan fenomena di jalan. Banyak helm full-face modifikasi, bahkan half-face pun kini di hiasi intercom canggih dengan tombol-tombol yang tampak high-tech. Tapi, seberapa sering sebenarnya alat itu di gunakan?
Banyak bikers pemula dan pengguna harian di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya mengaku membeli intercom karena pengaruh teman komunitas. Ada gengsi yang mulai terbentuk: kalau helm belum ada intercom-nya, rasanya belum sah di sebut “bikers beneran”. Padahal, aktivitas riding-nya sendiri hanya sebatas ke kantor dan pulang ke rumah.
Lebih parahnya lagi, beberapa di antara mereka bahkan tidak pernah menyalakan intercom itu setelah di pasang. Alat ini hanya jadi tempelan mahal yang mempermanis helm dan, tentu saja, bahan konten di media sosial. Jadi pertanyaan besar pun muncul: apakah beli intercom ini demi kenyamanan atau demi citra?
Fitur Canggih yang Sering Terlupakan
Intercom masa kini hadir dengan seabrek fitur: dari Bluetooth untuk telepon dan musik, koneksi grup riding hingga 8 orang, bahkan noise cancelling yang bisa meredam suara angin dan knalpot. Tapi ironisnya, banyak pengguna tidak memahami fitur tersebut. Mereka hanya tahu cara menyalakan dan athena gacor, selebihnya? Nganggur.
Penggunaan maksimal justru terjadi di kalangan riders profesional atau mereka yang sering melakukan long distance riding. Dalam skenario touring lintas kota, intercom benar-benar menjadi penyelamat komunikasi. Misalnya ketika salah satu motor mengalami kendala, atau saat berkendara dalam formasi, instruksi bisa langsung di berikan tanpa perlu teriak atau isyarat tangan yang bisa berbahaya.
Intercom juga membantu meningkatkan keamanan karena pengendara bisa fokus tanpa harus berhenti atau menoleh saat ingin menyampaikan sesuatu. Bahkan fitur navigasi suara dari aplikasi seperti Google Maps bisa langsung terhubung, membuat perjalanan jauh lebih terarah dan minim kesalahan.
Antara Tren dan Kebutuhan Nyata
Fenomena intercom sebagai simbol status mulai terbentuk layaknya penggunaan lampu LED RGB di motor matic, atau pemasangan knalpot bising hanya demi eksistensi. Di media sosial, makin banyak konten unboxing intercom dengan narasi “harus punya” bagi semua bikers. Padahal, jika melihat kondisi jalanan yang padat dan rute pendek yang biasa di lalui, fungsi intercom bisa di bilang minim manfaat.
Sementara itu, harga intercom juga tidak murah. Produk-produk premium seperti Sena, Cardo, atau Lexin bisa di banderol hingga jutaan rupiah. Bahkan brand lokal dengan harga lebih bersahabat pun tetap memakan biaya ratusan ribu. Bagi mereka yang benar-benar memaksimalkan fungsi dan kerap riding dalam grup, tentu pengeluaran itu masuk akal. Tapi bagi yang cuma riding ke minimarket, intercom bisa jadi penghambur dana yang tak penting.
Namun begitulah gaya hidup otomotif di Indonesia—kadang yang tampak keren lebih penting dari yang benar-benar berguna. Selama ada gengsi dan konten media sosial yang bisa di pamerkan, perangkat seperti intercom akan terus di buru, tak peduli apakah itu kebutuhan atau sekadar “alat gaya-gayaan” semata.